a.
Kerajaan Perlak
Perlak adalah kerajaan Islam tertua di Indonesia. Perlak adalah sebuah
kerajaan dengan masa pemerintahan cukup panjang. Kerajaan yang berdiri pada
tahun 840 ini berakhir pada tahun 1292 karena bergabung dengan Kerajaan Samudra
Pasai. Sejak berdiri sampai bergabungnya Perlak dengan Samudrar Pasai, terdapat
19 orang raja yang memerintah. Raja yang pertama ialah Sultan Alaidin Saiyid
Maulana Abdul Aziz Syah (225 – 249 H / 840 – 964 M). Sultan bernama asli Saiyid
Abdul Aziz pada tanggal 1 Muhharam 225 H dinobatkan menjadi Sultan Kerajaan
Perlak. Setelah pengangkatan ini, Bandar Perlak diubah menjadi Bandar Khalifah.
Kerajaan ini mengalami masa jaya pada masa pemerintahan Sultan Makhdum
Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat (622-662 H/1225-1263 M).
Pada masa pemerintahannya, Kerajaan Perlak mengalami kemajuan pesat terutama
dalam bidang pendidikan Islam dan perluasan dakwah Islamiah. Sultan mengawinkan
dua putrinya: Putri Ganggang Sari (Putri Raihani) dengan Sultan Malikul Saleh
dari Samudra Pasai serta Putri Ratna Kumala dengan Raja Tumasik (Singapura
sekarang).
Perkawinan ini dengan parameswara Iskandar Syah yang kemudian bergelar
Sultan Muhammad Syah.
Sultan Makhdum Alaidin Malik Muhammad Amin Syah II Johan Berdaulat kemudian digantikan
oleh Sultan Makhdum Alaidin Malik Abdul Aziz Syah Johan Berdaulat (662-692
H/1263-1292 M). Inilah sultan terakhir Perlak. Setelah beliau wafat, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudra Pasai dengan raja Muhammad Malikul Dhahir
yang adalah Putra Sultan Malikul Saleh dengan Putri Ganggang Sari.
Perlak merupakan kerajaan yang sudah maju. Hal ini terlihat dari adanya mata
uang sendiri. Mata uang Perlak yang ditemukan terbuat dari emas (dirham), dari
perak (kupang), dan dari tembaga atau kuningan.
b.
Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan ini didirikan oleh Sultan Malik Al-saleh dan sekaligus sebagai raja
pertama pada abad ke-13. Kerajaan Samudera Pasai terletak di sebelah utara
Perlak di daerah Lhok Semawe sekarang (pantai timur Aceh).
Sebagai sebuah kerajaan, raja silih berganti memerintah di Samudra Pasai.
Raja-raja yang pernah memerintah Samudra Pasai adalah seperti berikut.
(1) Sultan Malik Al-saleh berusaha meletakkan dasar-dasar kekuasaan Islam
dan berusaha mengembangkan kerajaannya antara lain melalui perdagangan dan
memperkuat angkatan perang. Samudra Pasai berkembang menjadi negara maritim
yang kuat di Selat Malaka.
(2) Sultan Muhammad (Sultan Malik al Tahir I) yang memerintah sejak
1297-1326. Pada masa pemerintahannya Kerajaan Perlak kemudian disatukan dengan
Kerajaan Samudra Pasai.
(3) Sultan Malik al Tahir II (1326 – 1348 M). Raja yang bernama asli Ahmad
ini sangat teguh memegang ajaran Islam dan aktif menyiarkan Islam ke
negeri-negeri sekitarnya. Akibatnya, Samudra Pasai berkembang sebagai pusat penyebaran
Islam. Pada masa pemerintahannya, Samudra Pasai memiliki armada laut yang kuat
sehingga para pedagang merasa aman singgah dan berdagang di sekitar Samudra
Pasai. Namun, setelah muncul Kerajaan Malaka, Samudra Pasai mulai memudar. Pada
tahun 1522 Samudra Pasai diduduki oleh Portugis. Keberadaan Samudra Pasai
sebagai kerajaan maritim digantikan oleh Kerajaan Aceh yang muncul kemudian.
Catatan lain mengenai kerajaan ini dapat diketahui dari tulisan Ibnu
Battuta, seorang pengelana dari Maroko. Menurut Battuta, pada tahun 1345,
Samudera Pasai merupakan kerajaan dagang yang makmur. Banyak pedagang dari
Jawa, Cina, dan India yang datang ke sana. Hal ini mengingat letak Samudera
Pasai yang strategis di Selat Malaka. Mata uangnya uang emas yang disebur deureuham
(dirham).
Di bidang agama, Samudera Pasai menjadi pusat studi Islam. Kerajaan ini
menyiarkan Islam sampai ke Minangkabau, Jambi, Malaka, Jawa, bahkan ke
Thailand. Dari Kerajaan Samudra Pasai inilah kader-kader Islam dipersiapkan
untuk mengembangkan Islam ke berbagai daerah. Salah satunya ialah Fatahillah.
Ia adalah putra Pasai yang kemudian menjadi panglima di Demak kemudian menjadi
penguasa di Banten.
c.
Kerajaan Aceh
Kerajaan Islam berikutnya di Sumatra ialah Kerajaan Aceh. Kerajaan yang
didirikan oleh Sultan Ibrahim yang bergelar Ali Mughayat Syah (1514-1528),
menjadi penting karena mundurnya Kerajaan Samudera Pasai dan berkembangnya
Kerajaan Malaka.
Para pedagang kemudian lebih sering datang ke Aceh.
Pusat pemerintahan Kerajaan Aceh ada di Kutaraja (Banda Acah sekarang).
Corak pemerintahan di Aceh terdiri atas dua sistem: pemerintahan sipil di bawah
kaum bangsawan, disebut golongan teuku; dan pemerintahan atas dasar agama di
bawah kaum ulama, disebut golongan tengku atau teungku.
Sebagai sebuah kerajaan, Aceh mengalami masa maju dan mundur. Aceh mengalami
kemajuan pesat pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1607- 1636). Pada
masa pemerintahannya, Aceh mencapai zaman keemasan. Aceh bahkan dapat menguasai
Johor, Pahang, Kedah, Perak di Semenanjung Melayu dan Indragiri, Pulau Bintan,
dan Nias. Di samping itu, Iskandar Muda juga menyusun undang-undang tata
pemerintahan yang disebut Adat Mahkota Alam.
Setelah Sultan Iskandar Muda, tidak ada lagi sultan yang mampu mengendalikan
Aceh. Aceh mengalami kemunduran di bawah pimpinan Sultan Iskandar Thani (1636-
1641). Dia kemudian digantikan oleh permaisurinya, Putri Sri Alam Permaisuri
(1641- 1675). Sejarah mencatat Aceh makin hari makin lemah akibat pertikaian
antara golongan teuku dan teungku, serta antara golongan aliran syiah dan
sunnah sal jama’ah. Akhirnya, Belanda berhasil menguasai Aceh pada tahun 1904.
Dalam bidang
sosial,
letaknya yang strategis di titik sentral jalur perdagangan internasional di
Selat Malaka menjadikan Aceh makin ramai dikunjungi pedangang Islam.
Terjadilah asimilasi baik di bidang sosial maupun
ekonomi.
Dalam
kehidupan
bermasyarakat, terjadi perpaduan antara adat istiadat dan ajaran
agama Islam. Pada
sekitar abad ke-16 dan 17 terdapat empat orang ahli tasawuf di Aceh, yaitu
Hamzah Fansuri, Syamsuddin as-Sumtrani, Nuruddin ar-Raniri, dan Abdurrauf dari
Singkil.
Keempat ulama ini sangat berpengaruh bukan hanya di Aceh tetapi juga sampai
ke Jawa.
Dalam kehidupan ekonomi, Aceh berkembang dengan pesat pada masa kejayaannya.
Dengan menguasai daerah pantai barat dan timur Sumatra, Aceh menjadi kerajaan
yang kaya akan sumber
daya alam, seperti
beras, emas, perak dan timah serta rempah-rempah.
d. Kerajaan Demak dan Kerajaan Pajang dengan Peninggalannya
Demak adalah kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Kerajaan yang didirikan
oleh Raden Patah ini pada awalnya adalah sebuah wilayah dengan nama Glagah atau
Bintoro yang berada di bawah kekuasaan Majapahit. Majapahit mengalami
kemunduran pada akhir abad ke-15. Kemunduran ini memberi peluang bagi Demak
untuk berkembang menjadi
kota
besar dan pusat perdagangan. Dengan bantuan para ulama Walisongo, Demak
berkembang menjadi pusat penyebaran
agama Islam di Jawa dan wilayah timur Nusantara.
Sebagai kerajaan, Demak diperintah silih berganti oleh raja-raja. Demak
didirikan oleh Raden Patah (1500-1518) yang bergelar Sultan Alam Akhbar al
Fatah. Raden Patah sebenarnya adalah Pangeran Jimbun, putra raja Majapahit.
Pada masa pemerintahannya, Demak berkembang pesat. Daerah kekuasaannya meliputi
daerah Demak sendiri, Semarang, Tegal, Jepara dan sekitarnya, dan cukup
berpengaruh di Palembang dan Jambi di Sumatera, serta beberapa wilayah di Kalimantan.
Karena memiliki bandar-bandar penting seperti Jepara, Tuban, Sedayu, Gresik,
Raden Patah memperkuat armada lautnya sehingga Demak berkembang menjadi
negara
maritim yang kuat. Dengan kekuatannya itu, Demak mencoba menyerang Portugis
yang pada saat itu menguasai Malaka. Demak membantu Malaka karena kepentingan
Demak turut terganggu dengan hadirnya Portugis di Malaka. Namun, serangan itu
gagal.
Raden Patah kemudian digantikan oleh Adipati Unus (1518-1521). Walau ia
tidak memerintah lama, tetapi namanya cukup terkenal sebagai panglima perang
yang berani.
Ia berusaha membendung pengaruh Portugis jangan sampai meluas ke Jawa.
Karena mati muda, Adipati Unus kemudian digantikan oleh adiknya, Sultan
Trenggono (1521-1546). Di bawah pemerintahannya, Demak mengalami masa kejayaan.
Trenggono berhasil membawa Demak memperluas wilayah kekuasaannya. Pada tahun
1522, pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah menyerang Banten, Sunda
Kelapa, dan Cirebon. Baru pada tahun 1527, Sunda Kelapa berhasil direbut. Dalam
penyerangan ke Pasuruan pada
tahun
1546, Sultan Trenggono gugur.
Sepeninggal Sultan Trenggono, Demak mengalami kemunduran. Terjadi perebutan
kekuasaan antara Pangeran Sekar Sedolepen, saudara Sultan Trenggono yang seharusnya
menjadi raja dan Sunan Prawoto, putra sulung Sultan Trenggono. Sunan Prawoto
kemudian dikalahkan oleh Arya Penangsang, anak Pengeran Sekar Sedolepen.
Namun, Arya Penangsang pun kemudian dibunuh oleh Joko Tingkir, menantu
Sultan Trenggono yang menjadi Adipati di Pajang. Joko Tingkir (1549-1587) yang
kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya memindahkan pusat Kerajaan Demak ke Pajang.
Kerajaannya kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Pajang.
Sultan Hadiwijaya kemudian membalas jasa para pembantunya yang telah berjasa
dalam pertempuran melawan Arya Penangsang. Mereka adalah Ki Ageng Pemanahan
menerima hadiah berupa tanah di daerah Mataram (Alas Mentaok), Ki Penjawi
dihadiahi wilayah di daerah Pati, dan keduanya sekaligus diangkat sebagai
bupati di daerahnya masing-masing. Bupati Surabaya yang banyak berjasa
menundukkan daerah-daerah di Jawa Timur diangkat sebagai wakil raja dengan
daerah kekuasaan Sedayu, Gresik, Surabaya, dan Panarukan.
Ketika Sultan Hadiwijaya meninggal, beliau digantikan oleh putranya Sultan Benowo.
Pada masa pemerintahannya, Arya Pangiri, anak dari Sultan Prawoto melakukan
pemberontakan. Namun, pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Pangeran
Benowo dengan bantuan Sutawijaya, anak angkat Sultan Hadiwijaya. Tahta Kerajaan
Pajang kemudian diserahkan Pangeran Benowo kepada Sutawijaya. Sutawijaya
kemudian memindahkan pusat Kerajaan Pajang ke Mataram.
Di bidang keagamaan, Raden Patah dan dibantu para wali, Demak tampil sebagai
pusat penyebaran Islam. Raden Patah kemudian membangun sebuah masjid yang
megah, yaitu Masjid Demak.
Dalam bidang perekonomian, Demak merupakan pelabuhan transito (penghubung)
yang penting. Sebagai pusat perdagangan Demak memiliki pelabuhan-pelabuhan
penting, seperti Jepara, Tuban, Sedayu,
Gresik.
Bandar-bandar tersebut menjadi penghubung daerah penghasil rempah-rempah dan
pembelinya. Demak juga memiliki penghasilan besar dari hasil pertaniannya yang
cukup besar. Akibatnya, perekonomian Demak berkembang degan pesat.
e.
Kerajaan Mataram dan Peninggalannya
Sutawijaya yang mendapat limpahan Kerajaan Pajang dari Sutan Benowo kemudian
memindahkan pusat pemerintahan ke daerah kekuasaan ayahnya, Ki Ageng Pemanahan,
di Mataram. Sutawijaya kemudian menjadi raja Kerajaan Mataram dengan gelar
Panembahan Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama.
Pemerintahan Panembahan Senopati (1586-1601) tidak berjalan dengan mulus
karena diwarnai oleh pemberontakan-pemberontakan. Kerajaan yang berpusat di
Kotagede (sebelah tenggara kota Yogyakarta sekarang) ini selalu terjadi perang
untuk menundukkan para bupati yang ingin melepaskan diri dari kekuasaan
Mataram, seperti Bupati Ponorogo, Madiun, Kediri, Pasuruan bahkan Demak. Namun,
semua daerah itu dapat ditundukkan. Daerah yang terakhir dikuasainya ialah
Surabaya dengan bantuan Sunan Giri.
Setelah Senopati wafat, putranya Mas Jolang (1601-1613) naik tahta dan
bergelar Sultan Anyakrawati. Dia berhasil menguasai Kertosono, Kediri, dan
Mojoagung. Ia wafat dalam pertempuran di daerah Krapyak sehingga kemudian
dikenal dengan Pangeran Sedo Krapyak.
Mas Jolang kemudian digantikan oleh Mas Rangsang (1613-1645). Raja Mataram
yang bergelar Sultan Agung Senopati ing Alogo Ngabdurracham ini kemudian lebih
dikenal dengan nama Sultan Agung. Pada masa pemerintahannya, Mataram mencapai
masa keemasan. Pusat pemerintahan dipindahkan ke Plered. Wilayah kekuasaannya
meliputi Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat. Sultan Agung ber
cita-cita mempersatukan Jawa. Karena merasa sebagai penerus
Kerajaan Demak, Sultan Agung menganggap Banten adalah bagian dari Kerajaan
Mataram. Namun, Banten tidak mau tunduk kepada Mataram. Sultan Agung kemudian
berniat untuk merebut Banten.
Namun, niatnya itu terhambat karena ada VOC yang menguasai Sunda Kelapa. VOC
juga tidak menyukai Mataram. Akibatnya, Sultan Agung harus berhadapan dulu
dengan VOC. Sultan Agung dua kali berusaha menyerang VOC: tahun 1628 dan 1629.
Penyerangan tersebut tidak berhasil, tetapi dapat membendung pengaruh VOC di
Jawa.
Sultan Agung membagi
sistem
pemerintahan
Kerajaan Mataram seperti berikut.
(1) Kutanegara, daerah pusat keraton. Pelaksanaan pemerintahan dipegang oleh
Patih Lebet (Patih Dalam) yang dibantu Wedana Lebet (Wedana Dalam).
(2) Negara Agung,
daerah sekitar Kutanegara. Pelaksanaan
pemerintahan
dipegang Patih Jawi (Patih Luar) yang dibantu Wedana Jawi (Wedana Luar).
(3) Mancanegara, daerah di luar Negara Agung. Pelaksanaan pemerintahan
dipegang oleh para Bupati.
(4) Pesisir, daerah pesisir. Pelaksanaan
pemerintahan
dipegang oleh para Bupati atau syahbandar.
Sultan Agung wafat pada tahun 1645 dan digantikan oleh Amangkurat I
(1645-1677). Amangkurat I menjalin hubungan dengan Belanda. Pada masa
pemerintahannya. Mataram diserang oleh Trunojaya dari Madura, tetapi dapat
digagalkan karena dibantu Belanda.
Amangkurat I kemudian digantikan oleh Amangkurat II (1677-1703). Pada masa
pemerintahannya, wilayah Kerajaan Mataram makin menyempit karena diambil oleh
Belanda.
Setelah Amangkurat II, raja-raja yang memerintah Mataram sudah tidak lagi
berkuasa penuh karena pengaruh Belanda yang sangat kuat. Bahkan pada tahun
1755, Mataram terpecah menjadi dua akibat Perjanjian Giyanti:
Ngayogyakarta Hadiningrat (Kesultanan Yogyakarta) yang berpusat di
Yogyakarta dengan raja Mangkubumi yang bergelar Hamengku
Buwono I dan Kesuhunan Surakarta yang berpusat di Surakarta dengan raja
Susuhunan Pakubuwono III. Dengan demikian, berakhirlah Kerajaan Mataram.
Kehidupan sosial ekonomi Mataram cukup maju. Sebagai kerajaan besar, Mataram
maju hampir dalam segala bidang, pertanian, agama, budaya. Pada zaman Kerajaan
Majapahit, muncul kebudayaan Kejawen, gabungan antara kebudayaan asli Jawa,
Hindu, Buddha, dan Islam, misalnya upacara Grebeg, Sekaten.
Karya kesusastraan yang terkenal
adalah Sastra Gading karya Sultan Agung. Pada tahun 1633, Sultan Agung
mengganti perhitungan tahun Hindu yang berdasarkan perhitungan matahari dengan
tahun Islam yang berdasarkan perhitungan bulan.
f.
Kerajaan Banten
Kerajaan yang terletak di barat Pulau Jawa ini pada awalnya merupakan bagian
dari Kerajaan Demak. Banten direbut oleh pasukan Demak di bawah pimpinan Fatahillah.
Fatahillah adalah menantu dari Syarif Hidayatullah. Syarif Hidayatullah adalah
salah seorang wali yang diberi kekuasaan oleh Kerajaan Demak untuk memerintah
di Cirebon. Syarif Hidayatullah memiliki 2 putra laki-laki, pangeran Pasarean
dan Pangeran Sabakingkin. Pangeran Pasareaan berkuasa di Cirebon. Pada tahun
1522, Pangeran Saba Kingkin yang kemudian lebih dikenal dengan nama Hasanuddin
diangkat menjadi Raja Banten.
Setelah Kerajaan Demak mengalami kemunduran, Banten kemudian melepaskan diri
dari Demak. Berdirilah Kerajaan Banten dengan rajanya Sultan Hasanudin (1522-
1570). Pada masa pemerintahannya, pengaruh Banten sampai ke Lampung. Artinya,
Bantenlah yang menguasai jalur perdagangan di Selat Sunda. Para pedagang dari
Cina, Persia, Gujarat, Turki banyak yang mendatangi bandar-bandar di Banten.
Kerajaan Banten berkembang menjadi pusat perdagangan selain karena letaknya
sangat strategis, Banten juga didukung oleh beberapa faktor di antaranya
jatuhnya Malaka ke tangan Portugis (1511) sehingga para
pedagang
muslim
berpindah jalur pelayarannya melalui Selat Sunda. Faktor lainnya, Banten
merupakan penghasil lada dan beras, komoditi yang laku di pasaran dunia.
Sultan Hasanudin kemudian digantikan putranya, Pangeran Yusuf (1570-1580).
Pada masa pemerintahannya, Banten berhasil merebut Pajajaran dan Pakuan.
Pangeran Yusuf kemudian digantikan oleh Maulana Muhammad. Raja yang bergelar
Kanjeng Ratu Banten ini baru berusia sembilan tahun ketika diangkat menjadi
raja. Oleh sebab itu, dalam menjalankan roda pemerintahan, Maulana Muhammad
dibantu oleh Mangkubumi. Dalam tahun 1595, dia memimpin ekspedisi menyerang
Palembang. Dalam pertempuran itu, Maulana Muhammad gugur.
Maulana Muhammad kemudian digantikan oleh putranya Abu’lmufakhir yang baru
berusia lima bulan. Dalam menjalankan roda pemerintahan, Abu’lmufakhir dibantu
oleh Jayanegara. Abu’lmufakhir kemudian digantikan oleh Abu’ma’ali Ahmad
Rahmatullah. Abu’ma’ali Ahmad Rahmatullah kemudian digantikan oleh Sultan Ageng
Tirtayasa (1651-1692).
Sultan Ageng Tirtayasa menjadikan Banten sebagai sebuah kerajaan yang maju
dengan pesat. Untuk membantunya, Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1671
mengangkat purtanya, Sultan Abdulkahar, sebagi raja pembantu. Namun, sultan
yang bergelar Sultan Haji berhubungan dengan Belanda. Sultan Ageng Tirtayasa
yang tidak menyukai hal itu berusaha mengambil alih kontrol pemerintahan, tetapi
tidak berhasil karena Sultan Haji didukung Belanda. Akhirnya, pecahlah perang
saudara. Sultan Ageng Tirtayasa tertangkap dan dipenjarakan. Dengan demikian,
lambat laun Banten mengalami kemunduran karena tersisih oleh Batavia yang
berada di bawah kekuasaan Belanda.
g.
Kerajaan Cirebon
Kerajaan yang terletak di perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah
didirikan oleh salah seorang anggota Walisongo, Sunan Gunung Jati dengan gelar
Syarif Hidayatullah.
Syarif Hidayatullah membawa kemajuan bagi Cirebon. Ketika Demak mengirimkan
pasukannya di bawah Fatahilah (Faletehan) untuk menyerang Portugis di Sunda
Kelapa, Syarif Hidayatullah memberikan bantuan sepenuhnya. Bahkan pada tahun
1524, Fatahillah diambil menantu oleh Syarif Hidayatullah. Setelah Fatahillah berhasil
mengusir Portugis dari Sunda Kelapa, Syarif Hidayatullah meminta Fatahillah
untuk menjadi Bupati di Jayakarta.
Syarif Hidayatullah kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Pangeran
Pasarean. Inilah raja yang menurunkan raja-raja Cirebon selanjutnya.
Pada tahun 1679, Cirebon terpaksa dibagi dua, yaitu Kasepuhan dan Kanoman.
Dengan politik de vide at impera yang dilancarkan Belanda yang pada saat itu
sudah berpengaruh di Cirebon, kasultanan Kanoman dibagi dua menjadi Kasultanan
Kanoman dan Kacirebonan. Dengan demikian, kekuasaan Cirebon terbagi menjadi 3,
yakni Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan. Cirebon berhasil dikuasai VOC pada
akhir abad ke-17.
h.
Kerajaan Gowa-Tallo
Kerajaan yang terletak di Sulawesi Selatan sebenarnya terdiri atas dua
kerjaan:
Gowa dan Tallo. Kedua kerajaan ini kemudian bersatu. Raja Gowa, Daeng
Manrabia, menjadi raja bergelar Sultan Alauddin dan Raja Tallo, Karaeng
Mantoaya,
menjadi
perdana menteri bergelar Sultan Abdullah. Karena pusat pemerintahannya terdapat
di Makassar, Kerajaan Gowa dan Tallo sering disebut sebagai Kerajaan Makassar.
Karena posisinya yang strategis di antara wilayah barat dan timur Nusantara,
Kerajaan Gowa dan Tallo menjadi bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur
yang
kaya
rempah-rempah. Kerajaan Makassar memiliki pelaut-pelaut yang tangguh terutama
dari daerah Bugis. Mereka inilah yang memperkuat barisan pertahanan laut
Makassar.
Raja yang terkenal dari kerajaan ini ialah Sultan Hasanuddin (1653-1669).
Hasanuddin berhasil memperluas wilayah kekuasaan Makassar baik ke atas
sampai ke Sumbawa dan sebagian Flores di selatan.
Karena merupakan bandar utama untuk memasuki Indonesia Timur, Hasanuddin
bercita-cita menjadikan Makassar sebagai pusat kegiatan perdagangan di
Indonesia bagian Timur. Hal ini merupakan ancaman bagi Belanda sehingga sering
terjadi pertempuran dan perampokan terhadap armada Belanda. Belanda kemudian
menyerang Makassar dengan bantuan Aru Palaka, raja Bone. Belanda berhasil
memaksa Hasanuddin, Si Ayam Jantan dari Timur itu menyepakati Perjanjian
Bongaya pada tahun 1667. Isi perjanjian itu ialah: Belanda mendapat monopoli
dagang di Makassar, Belanda boleh mendirikan benteng di Makassar, Makassar
harus melepaskan jajahannya, dan Aru Palaka harus diakui sebagai Raja Bone.
Sultan Hasanuddin kemudian digantikan oleh Mapasomba. Namun, Mapasomba tidak
berkuasa lama karena Makassar kemudian dikuasai Belanda, bahkan seluruh
Sulawesi Selatan.
Tata kehidupan yang tumbuh di Makassar dipengaruhi oleh
hukum
Islam.
Kehidupan perekonomiannya berdasarkan pada ekonomi maritim: perdagangan dan
pelayaran. Sulawesi Selatan sendiri merupakan daerah pertanian yang subur.
Daerah-daerah taklukkannya di tenggara seperti Selayar dan Buton serta di
selatan seperti Lombok, Sumbawa, dan Flores juga merupakan daerah yang kaya
dengan sumber daya alam. Semua itu membuat Makassar mampu memenuhi semua
kebutuhannya bahkan mampu mengekspor.
Karena memiliki pelaut-pelaut yang tangguh dan terletak di pintu masuk jalur
perdagangan Indonesia Timur, disusunlah Ade’Allapialing Bicarana Pabbalri’e,
sebuah tata hukum niaga dan perniagaan dan sebuah naskah lontar yang ditulis
oleh Amanna Gappa.
i.
Kerajaan Ternate dan Tidore
Ternate merupakan kerajaan Islam di timur yang berdiri pada abad ke-13
dengan raja Zainal Abidin (1486-1500). Zainal Abidin adalah murid dari Sunan
Giri di Kerajaan Demak. Kerajaan Tidore berdiri di pulau lainnya dengan Sultan
Mansur sebagai raja.
Kerajaan yang terletak di Indonesia Timur menjadi incaran para pedagang
karena Maluku kaya akan rempah-rempah. Kerajaan Ternate cepat berkembang berkat
hasil rempah-rempah terutama cengkih.
Ternate dan Tidore hidup berdampingan secara damai. Namun, kedamaian itu
tidak berlangsung selamanya. Setelah Portugis dan Spanyol datang ke Maluku,
kedua kerajaan berhasil diadu domba. Akibatnya, antara kedua kerajaan tersebut
terjadi persaingan. Portugis yang masuk Maluku pada tahun 1512 menjadikan
Ternate sebagai sekutunya dengan membangun benteng Sao Paulo. Spanyol yang
masuk Maluku pada tahun 1521 menjadikan Tidore sebagai sekutunya.
Dengan berkuasanya kedua bangsa Eropa itu di Tidore dan Ternate, terjadi
pertikaian terus-menerus. Hal itu terjadi karena kedua bangsa itu sama-sama
ingin memonopoli hasil bumi dari kedua kerajaan tersebut. Di lain pihak,
ternyata bangsa Eropa itu bukan hanya berdagang tetapi juga berusaha
menyebarkan
ajaran
agama mereka. Penyebaran agama ini mendapat tantangan dari Raja Ternate,
Sultan Khairun (1550-1570). Ketika diajak berunding oleh Belanda di benteng Sao
Paulo, Sultan Khairun dibunuh oleh Portugis.
Setelah sadar bahwa mereka diadu domba, hubungan kedua kerajaan membaik
kembali. Sultan Khairun kemudian digantikan oleh Sultan Baabullah (1570-1583).
Pada masa pemerintahannya, Portugis berhasil diusir dari Ternate. Keberhasilan
itu tidak terlepas dari bantuan Sultan Tidore. Sultan Khairun juga berhasil
memperluas
daerah kekuasaan Ternate sampai ke Filipina.
Sementara itu, Kerajaan Tidore mengalami kemajuan pada masa
pemerintahan Sultan Nuku. Sultan Nuku berhasil memperluas
pengaruh Tidore sampai ke Halmahera, Seram, bahkan Kai di selatan dan Misol di
Irian.
Dengan masuknya Spanyol dan Portugis ke Maluku,
kehidupan
beragama dan bermasyarakat di Maluku jadi beragam: ada Katolik, Protestan, dan
Islam. Pengaruh Islam sangat terasa di Ternate dan Tidore. Pengaruh Protestan
sangat terasa di Maluku bagian tengah dan pengaruh Katolik sangat terasa di
sekitar Maluku bagian selatan.
Maluku adalah daerah penghasil rempah-rempah yang sangat terkenal bahkan
sampai ke Eropa. Itulah komoditi yang menarik orang-orang Eropa dan Asia datang
ke Nusantara. Para pedagang itu membawa barang-barangnya dan menukarkannya
dengan rempah-rempah. Proses perdagangan ini pada awalnya menguntungkan
masyarakat setempat. Namun, dengan berlakunya politik monopoli perdagangan,
terjadi kemunduran di berbagai bidang, termasuk
kesejahteraan masyarakat.