Laman

Jumat, 28 Desember 2012

tari pakarena

TARI PAKARENA Jenis: tari tradisional klasik. Diperankan oleh: wanita. Keunikan, iringan, dan kostum Tari Pakarena : adalah ekspresi kesenian budaya rakyat Gowa, sering dipertontonkan pada acara khusus , promosi wisata Sulawesi Selatan. Sejarah Tarian Pakarena berawal dari kisah mitos perpisahan penghuni boting langi (negeri kahyangan) dengan penghuni lino (bumi) zaman dulu. Sebelum detik-detik perpisahan, boting langi mengajarkan penghuni lino mengenai tata cara hidup, bercocok tanam, beternak hingga cara berburu lewat gerakan-gerakan tangan, badan dan kaki. Gerakan-gerakan inilah yang kemudian menjadi tarian ritual saat penduduk lino menyampaikan rasa syukurnya kepada penghuni boting langi. Sebagai seni yang berdimensi ritual, Pakarena terus hidup dan menghidupi ruang batin masyarakat Gowa dan sekitarnya. Pakarena adalah bahasa setempat berasal dari kata Karena yang artinya main. Sementara ilmu hampa menunjukan pelakunya. Tarian ini mentradisi di kalangan masyarakat Gowa yang merupakan wilayah bekas Kerajaan Gowa. Kelembutan mendominasi kesan pada tarian ini. Tampak jelas menjadi cermin watak perempuan Gowa sesungguhnya yang sopan, setia, patuh dan hormat pada laki-laki terutama terhadap suami. Gerakan lembut si penari sepanjang tarian dimainkan, tak urung menyulitkan buat masyarakat awam untuk membedakan babak demi babak. Padahal tarian ini terbagi dalam 12 bagian. Gerakan yang sama, nyaris terangkai sejak tarian bermula. Pola gerakan yang cenderung mirip dilakukan dalam setiap bagian tarian. Sesungguhnya pola-pola ini memiliki makna khusus. Gerakan pada posisi duduk, menjadi pertanda awal dan akhir Tarian Pakarena. Gerakan berputar mengikuti arah jarum jam. Menunjukkan siklus kehidupan manusia. Sementara gerakan naik turun, tak ubahnya cermin irama kehidupan. Aturan mainnya, seorang penari Pakarena tidak diperkenankan membuka matanya terlalu lebar. Demikian pula dengan gerakan kaki, tidak boleh diangkat terlalu tinggi. Hal ini berlaku sepanjang tarian berlangsung yang memakan waktu sekitar dua jam. Penari Pakarena, begitu lembut mengerakan anggota tubuhnya. Sebuah cerminan wanita Sulawesi Selatan. Sementara iringan tetabuhan yang disebut Gandrang Pakarena, seolah mengalir sendiri. Hentakannya yang bergemuruh, selintas tak seiring dengan gerakan penari. Gandrang Pakarena, adalah tampilan kaum pria Sulawesi Selatan yang keras. Tarian Pakarena dan musik pengiringnya bak angin kencang dan gelombang badai. Terang musik Gandrang Pakarena bukan hanya sekedar pengiring tarian. Ia juga sebagai penghibur bagi penonton. Suara hentakan lewat empat Gandrang atau gendang yang ditabuh bertalu-talu ditimpahi tiupan tuip-tuip atau seruling, para pasrak atau bambu belah dan gong, begitu mengoda . Komposisi dari sejumlah alat musik tradisional yang biasanya dimainkan 7 orang ini, dikenal dengan sebutan Gondrong Rinci. Pemain Gandrang sangat berperan besar dalam musik ini. Irama musik yang dimainkan sepenuhnya bergantung pada pukulan Gandrang. Karena itu, seorang pemain Gandrang harus sadar bahwa ia adalah pemimpin dan ia paham akan jenis gerakan Tari Pakarena. Biasanya selain jenis pukulan untuk menjadi tanda irama musik bagi pemain lainnya, seorang penabuh Gandrang juga mengerakan tubuh terutama kepalanya. Ada dua jenis pukulan yang dikenal dalam petabuhan Gandrang. Yang pertama adalah pukulan Gundrung yaitu pukulan Gandrang dengan menggunakan stik atau bambawa yang terbuat dari tanduk kerbau. Yang kedua adalah pukulan tumbu yang dipukul hanya dengan tangan. Gemuruh suara yang terdengar dari sejumlah alat musik tradisional Sulawesi Selatan ini, begitu berpengaruh kepada penonton. Mereka begitu bersemangat, seakan tak ingat lagi waktu pertunjukan yang biasanya berlangsung semalam suntuk. Semangat inipula yang membuat para pemain musiknya semakin menjadi. Waktu bergulir, hentakan Gandrang Pakarena terus terdengar. Sedangkan kostum dari penarinya adalah, baju pahang (tenunan tangan), lipa’ sa’be (sarung sutra khas Sulawesi Selatan), dan perhiasan-perhiasan khas. Kesan: Sikap bathin yang hening, penuh kelembutan, meditatif, Penafsiran tersebut berangkat dari ide mengenai konsep wanita dalam masyarakat Gowa, di mana sikap ideal seorang wanita adalah menjujung tinggi kesopanan, kesetiaan, kepatuhan dan sikap hormat kepada kaum laki-laki, terutama suami. Penafsiran demikian tentu dapat kita perdebatkan. Namun, sebagaimana pandangan yang dikatakan oleh Joan Kealiinohomoku pada awal paragraf, bahwa dance is culture and culture is dance, itu berarti sebuah tarian merupakan pandangan hidup atau cermin ideologi sebuah kelompok masyarakat yang ditransformasikan dalam gerakan-gerakan tubuh dan unsur-unsur lain yang mendukungnya.